Tak usah galau, pusing atau apalah itu, masih ada kami di sini yang slalu bernyanyi menyambut sang mentari…(Iwan Fals)
Mungkin seperti kata-kata bijak bang Iwan Fals di atas itulah setidaknya filosofi hidup yang mengendap dalam hatinurani seorang Charles Djalu, pemusik kota Malang yang mengenyam pendidikan seni musiknya dari sebuah lembaga pendidikan musik di kota Malang dan selanjutnya secara otodidak juga ‘nyantrik’ ke musisi senior di sana-sini.
Dari wawancara, Charles menjelaskan bahwa dirinya mewarisi bakat seni dari sang ayah dan juga keluarganya yang gandrung mendengarkan music, meskipun bukan pemusik. Alat musik yang digemari sang ayah adalah Mandolin dan Siter.
“Saya merasa bersyukur dibentuk oleh keluarga yang senang dengan musik dan memfasilitasi sarana musik saya agar bisa menjembatani suara hati, harapan-harapan dan pikiran-pikiran masyarakat yang saya tertuang dalam nada”, demikian ucap Charles Djalu di suatu petang di teras rumah penulis.
Dalam pengamatan penulis selama ini, kira-kira lebih dari 10 tahunan, Charles memang pemuda yang serius dan intens menekuni bidang tarik-menarik nada. Di kampus-kampus, di berbagai event anak muda, bahkan di hajatan sekolah Charles dan kelompok musiknya tampak hadir mengisi kemeriahan acara. Tak hanya itu, Charles dan kelompoknya sudah sering bermain musik atas undangan untuk berbagai acara di berbagai kota di pulau Jawa. Dalam kelompoknya Charles berperan sebagai pencipta lagu sekaligus vokalis sekaligus memainkan beberapa alat musik seperti gitar dan alat lainnya. Kelompok ini selalu membawakan lagu ciptaan mereka sendiri.
“Kami lebih senang membawakan lagu kami sendiri, rasanya lebih enak,lebih pass. Karena bagi kami, lagu dan syairnya adalah bahasa yang menyuarakan keinginan, harapan dan kritik-kritik. Sebagai catatan, bagi kami musik sebagai sarana bukan tujuan”
Prinsip bermusiknya Charles rasanya segaris dengan yang dikata seorang pengamat musik, dokter, dosen dan psikiatridi universitas Columbia, yang mengatakan, “Menyanyi merupakan keberadaan komunikasi yang paling mendasar.”
Berdasar prinsipnya ini dan dengan suaranya yang khasnya nan merdu, Charles dan grupnya saat ini yang bernama Splendid dialog; membawakan syair-syair lagu bercorak balada yang berkisah tentang perilaku dan kemanusiaan.
Mendasari kekuatan kelompoknya, dia mengatakan bahwa mereka bermain musik karena ketulusan, kecintaan dan kejujuran. Musik mereka hadir selalu dengan tema dan seringkali mereka kolaborasikan dengan bidang lain, semisal dengan bidang Filsafat, dengan cara menggarap bareng syairnya dengan filosof dan kemudian memusikalisasikannya. Atau dengan bidang Lingkungan hidup dengan cara bergerak bersama di lapangan dengan menyanyikan lagu-lagu bersyair penyadaran manusia atas lingkungan hidupnya dan banyak lagi.
Cukup jauh Charles Djalu berjalan dalam suka-duka music kontemporer yang mengusung ciri pembebasan, berfilosofi namun terbuka, tidak terikat pakem-pakem serta meniadakan sekat dan jarak dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kesenian seperti itulah yang dengan senang hati dia jalani bersama kelompoknya. Menyimak keterangannya perihal perjalanan seni music kontemporer-nya, lelaki gondrong yang brewokan ini menerangkan,
“Saya mulai bermain secara kelompok pada tahun 2003 dengan mendirikan komunitas musik “Kethek Ogleng” bersama ke 4 rekanya itu: Isa, Gembo, Nanang. Setelah 3 tahun berjalan, saya nimbrung di kelompok music bernama “Swara” yang dimandegani 4 senimanmusik, Abi, Antok Yunus, Purbo dan saya sendiri.”
“Lalu sekitar tahun 2011 kembali saya dan kawan-kawan mendirikan kelompok “Splendid Dialog” dengan formasi Endri Wejoe, Isa Ansori dan Sugarossogrem.”
Perubahan personil dalam bermusik dan perubahan nama kelompok bagi Charles bukan sesuatu yang prinsip. Baginya menyoal personil, mereka dari awal sudah sepakat membebaskan pilihan kelompok, artinya setiap personil bebas menentukan kapan ia bergabung dan kapan ia keluar dari kelompok tersebut, merdeka saja. Sebagai alasan, karena berkesenian adalah sebuah pembebasan. Kemudian menyoal nama kelompok, Charles dkk. Mencari bersama sampai cocok.
“Yang menarik bagi saya, meskipun ganti-ganti kelompok dan personil, warna musik yang kami pilih tetap bergenre kontemporer. Yakni memadukan antara folk, Balada dan Tradisi. Hasil paduan tersebut saya rasakan memiliki keunikan yang spesifik, mempribadi dan nyaman karena seperti merasa dirumah sendiri,” demikian ucapnya.
Charles Djalu yang selalu tampil unik tanpa bermaksud sok nyeni, dan memang kesehariannya seperti itu, merasa siap menyikapi kemajuan jaman ini dengan alasannya. Dalam bermusik, Charles memiliki harapan dan keinginan untuk menyertakan seorang manajer yang mendampingi kelompoknya.
“Saya sadar perlunya seorang Manager yang mengurus persoalan administrasi kelompok secara internal maupun external, memang sulit menemukan seorang manajer seni yang pas,jadi sekenanya dulu, kalau ada teman di sekitar kami yang bersedia dan perhatian, biasanya langsung saja ditunjuk jadi manajer…hehe” ungkapnya sambil ketawa kecil memunculkan lekuk manis di atas brewoknya.
Pemusik asli kelahiran kota Malang ini Selama berkegiatan dalam musik bersama kelompoknya “Splendid Dialog” Sudah menelurkan 4 album, diantaranya dilabel “Manuskrip Cinta”, berisi 12 lagu, hasil kolaborasi dengan seorang dosen filsafat sebagai penulis materi bernama SakbanRosidi. Dalam waktu dekat, kami akan meluncurkan album berlabel “Nyanyian Gunung Lemongan”, berisi 15 lagu, hasil kolaborasi dengan komunitas Penghijauan bernama “LaskarHijau” di kota Lumajang.
Album ketiga merupakan album “Live” sewaktu perform disuatu kafe tenar di kota Malang dan yang ke empat berlabel “album Capung” berisi 10 lagu hasil kompilasi dengan komunitas pemerhati lingkungan Indonesia “Dragonfly society” bersama kelompok musik lainnya.
Menutup tulisan ini teringat apa yang dikatakan seniman besar kita, Setiawan Djody, dan kata-kata itu perlu kita renungkan bersama: “…Lagu dalam musiknya merupakan roda kontemplasi”.
Selamat bermusik.
Ditulis oleh Bambang A.W (Budayawan)
(Dimuat di Koran Malang Pagi Edisi : Rabu 12 Agustus 2015)