“Handphone itu kalau digunakan dengan benar ya ada gunanya. Kalau kuotamu habis cuma untuk mengkonsumsi berita-berita yang gak jelas pertanggungjawabannya apalagi opini-opini yang dijejalkan oleh sumber-sumber partisan, ya otakmu jadi beku. Langkahmu terbatas karena telah dikondisikan. Menutup kemungkinan-kemungkinan.
Dulu aku sama sekali gak ada latarbelakang musik, tapi karena aku gunakan untuk mencari pengetahuan dengan media handphone, hasilnya ya seperti ini. Aku jadi sedikit tahu apa itu musik Sunda, kecapi dan sebagainya …”
begitu kira2 uraian panjang yg diterjemahkan secara bebas dari Cak Budi, lulusan STM yang kesehariannya menjadi tukang kayu.
Di kala senggang, Cak Budi, lelaki kisaran setengah abad ini beberapa tahun terakhir telah memproduksi banyak sekali alat musik dawai berbahan limbah kayu dan bambu. Puluhan dawai terpajang di kamar tamunya, “di rumah pundennya” di Kampung Cempluk Malang. Beberapa diantaranya terbuat dari kaleng bekas. Alat musik ini kerap dimainkan di banyak festival dan forum seni. Rencananya, dawai karya Cak Budi ini akan dipamerkan di gedung Dewan Kesenian Malang.
Hampir genap sepuluh tahun, kampung Cempluk menggeliat dengan Festival Kampung Cempluk-nya. Dampak baik di beragam lini, budaya dan sosial kemasyarakatan. Cak Budi salah satu outputnya, dia menjadi seorang “music builder” dengan nilai-nilai sosialnya. Festival ini diinisiasi oleh lelaki kurus berambut gondrong yg dalam setiap obrolan, penuh dengan diksi ilmiah, Redy Eko Prasetyo. Ditemui di Omah Ngopi, kedai kopi di Kampung Cempluk yg sekaligus “rumah produksinya”. Dia menggerakkan banyak kegiatan di sana. Menjadikan kampung sebagai pusat peradaban adalah visinya.
Salam baik & seger waras,
Yono Ndoyit, 07 Desember 2020
https://www.instagram.com/p/CIgDa3nJq0-/?igshid=1d2ccefv7e96a