Bermimpi Jadi Kampung Seni, Agendakan Festival Tiap Tahun
Tak banyak sebuah kampung, bisa mewadahi seni dan budaya. Bahkan kampung itu, bisa menjadi bagian dari agenda budaya. Termasuk masyarakat didalamnya. Beruntung Kabupaten Malang, memiliki satu kampung itu. Kampung Cempluk.
Sore yang cerah. Belasan anak mengerumuni satu televise. Seperangkat video game, membuat suasana kian meriah. Tampak juga sebuah kamera dan mic boom menyorot mereka.
Ternyata, pengambilan gambar untuk film yang bertajuk ‘Jumprit Singit’ oleh salah satu komunitas film, sedang berlangsung. Dan aktivitas itu, hanya sebagian kecil aktivitas seni budaya di kampung perbatasan Kota dan Kabupaten Malang
Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan pengambilan gambar film itu, adalah anak Kampung Cempluk. Sebuah perkampungan penduduk di dekat Kota Malang, tak jauh dari perumahan elit di kawasan Dieng. Kampung tersebut, tak jauh berbeda dengan kampung lainnya di daerah perbukitan. Dengan kontur jalan yang naik turun dan tak terlalu lebar.
Mendengar namanya, mungkin tak banyak orang tahu Kampung Cempluk. Tapi, bagi penggiat seni dan budaya, kampung tersebut seperti oase di tengah keringnya kehidupan seni dan budaya di Kota Malang.
Secara adminstratif, kampung Cempluk masuk dalam RW 2 Dusun Sumberejo Desa Kalisongo Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Kampung Cempluk terdiri dari empat RT. Secara geografis kampung ini lebih dekat ke pusat Kota Malang.
‘’Dulu kampung ini tak berbeda dengan desa pada umumnya. Masyarakatnya bertani palawija dan bengkoang. Tetapi semakin lama, tanah garapan tergusur pembangunan perumahan elit. Penduduknya beralih menjadi pekerja bangunan,’’ ujar Akhmad Yani, salah seorang warga Kampung Cempluk.
Meski lokasinya hanya lima menit dari Plasa Dieng, tapi kampung ini baru dialiri listrik tahun 1992. Sebelumnya, warga menggunakan cempluk sebagai penerangan, sedangkan di kampung lain sudah menggunakan petromax. Akhirnya RW 2 terkenal dengan sebutan Kampung Cempluk.
Waktu itu tak banyak seni yang berkembang di Kampung Cempluk. Hanya Ande-ande Lumut, sebuah grup seni pertunjukan yang menyajikan cerita panji. Seiring modernisasi, Ande-ande Lumut tergerus budaya modern.
Namun sejak dua tahun terakhir, Kampung Cempluk telah menjelma menjadi kampung komunal seni budaya kontemporer. Selain Ande-ande Lumut yang mulai kembali menggeliat, masih ada perkumpulan Garuda Putih, Barongsai Singa Liar dan kelompok orkes musik Melayu. Termasuk KBKC (Kelompok Bermain Kampung Cempluk), Jaranan Turonggo Joyo Mulyo, Pencak Silat Panca Manunggal, dan kelompok seni Bantengan. Semuanya hidup berdampingan.
Bahkan sejak dua tahun terakhir, Kampung Cempluk sukses menggelar Kampung Cempluk Festival. Sebuah festival tahunan yang diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat yang terdiri dari 150 keluarga. Hampir semua kepala keluarganya adalah tukang dan buruh bangunan.
Festival seni dan budaya, tak hanya dilakukan sehari atau dua hari. Tapi berhari-hari dan butuh biaya yang tidak sedikit. Karena kecintaan pada seni dan budaya yang tinggi, festival yang menghabiskan dana puluhan juta itu, menjadi hal murah bagi masyarakat menengah ke bawah ini.
‘’Meskipun kuli dan tukang bangunan, mereka punya rasa berkesenian yang tinggi. Uang yang dikeluarkan, tak sebanding dengan kecintaan warga Kampung Cempluk pada seni budaya,’’ ujar Redy Eko Prastyo, salah satu penggangas komunitas seni budaya Kampung Cempluk.
Saking cintanya dengan lingkungan dan warga Kampung Cempluk, Redy memilih tinggal dan hidup di Kampung Cempluk. ‘’Secara ekonomi warga memang menengah ke bawah, tapi sangat terbuka dengan kesenian dan budaya. Kampung Cempluk adalah kampung seni dan budaya kontemporer,’’ ujar alumni UM ini.
Redy menambahkan, aktivitas seni di Kampung Cempluk biasanya dilakukan malam hari, usai para buruh bangunan bekerja. Ada yang berlatih orkes Melayu, membuat barongsai, bermain musik, dan beraktivitas lainnya. Anak usia sekolah-pun tak mau kalah, mereka memiliki kegiatan bermain Wayang Suket yang berbahan batang singkong dan bermain egrang. Bagi warga Kampung Cempluk, seni adalah panggilan hati. Mereka memiliki local genius yang terus berkembang memiliki keunikan.
Ide awal Kampung Cempluk, mengadaptasi konsep Kampung Budaya Tembi di Yogya dan Jatiwangi Art Factory. ‘’Sebelum ada Kampung Cempluk festival, warga sudah berpotensi sangat terbuka dengan seni. Buktinya barongsai. Di sini tak ada warga Tiong Hoa, tapi warga antusias belajar membuat barongsai. Tinggal bagaimana kami mewadahinya apresiasi seni menjadi keunikan Kampung Cempluk,’’ ujar Redy.
Redy berharap digagasnya Kampung Cempluk festival adalah menjadi laboratorium seni dan budaya masyarakat. Tak hanya bagi warga Kampung Cempluk saja tetapi juga masyarakat luas.
‘’Rencananya Kampung Cempluk Festival yang akan digelar pada 29 September hingga 6 Oktober. Dihadiri seniman dari Hongaria dan Jerman,’’ tutur Redy. (winin maulidya saffanah)
- Support Film Jumprit Singit | Sembilan Production | Malang | 2012 | Director : Mahesa Desaga.
- Support Film Jumprit Singit | Sembilan Production | Malang | 2012 | Director : Mahesa Desaga.
- Support Film Jumprit Singit | Sembilan Production | Malang | 2012 | Director : Mahesa Desaga.
- Support Film Jumprit Singit | Sembilan Production | Malang | 2012 | Director : Mahesa Desaga.
- Support Film Jumprit Singit | Sembilan Production | Malang | 2012 | Director : Mahesa Desaga.
- Support Film Jumprit Singit | Sembilan Production | Malang | 2012 | Director : Mahesa Desaga.
- Support Film Jumprit Singit | Sembilan Production | Malang | 2012 | Director : Mahesa Desaga.
Sumber: http://www.malang-post.com/features/51754-melihat-aktivitas-berkesenian-warga-kampung-cempluk-1#comment-17230
TRAILER FILM JUMPRIT SINGIT
Trailer Jumprit Singit from Jumprit Singit on Vimeo.
Sembilan Production presents
a Mahesa Desaga film
– – – – – – – – –
Sinopsis
Di sebuah kampung pinggiran kota Malang, seorang anak yang kehilangan teman-teman bermain petak umpetnya, karena teman-temannya kini beralih bermain Playstation di rental Playstation kampung tersebut. Ketika Si Anak tersebut menyendiri dia bertemu dengan seorang maling jemuran yang sedang bersembunyi dari kejaran massa yang mengejarnya. Si Anak yang penasaran dengan gelagat si Maling yang mengingatkannya pada permainan petak umpet bersama teman-temannya. Si Maling yang dicecar pertanyaan polos si Anak menjawab sekenanya, dan menyatakan bahwa si Maling sedang bermain petak umpet. Dengan kepolosannya si Anak pun mempraktikan apa yang dikatakan oleh si Maling.
– – – – – – – – –
2012
– Finalis Kompetisi Film Pendek Europe on Screen 2012
– Finalis Kompetisi Film Pendek Nasional Festival Sinema Prancis 2012
– Nominasi Unggulan kategori Film Pendek APRESIASI FILM INDONESIA 2012
2013
– Film pembuka Klubnonton (Lampung) edisi Februari tema “premiere”
– Finalis XXI Short Film Festival 2013 untuk kategori FIKSI
– Film Tamu Malang Film Festival 2013 (Kine Klub UMM)
– – – – – – – – –
Cast
Novan “Tani Maju”
Calvin Novianto
M. Fadhil Wafy
Produced by
Arfan
Viola Aldila
Written and Directed by
Mahesa Desaga
Director of Photography
Depto Leby Armadya
Cameraman
Benny Setiawan
Art Director
Fiole Aditya
Didit Prasetyo
Wardrobe and Make Up Artist
Anita Zakia
Sound Designed by
Wilhy Bara
Music by
Redy Eko Prasetyo
Edited by
Didit Prasetyo & Cindy Natasha
Special Thanks to:
Lens Picture
Anomali Pictures
Bulu Creative
Kata Pictures
Dinbe Equipment
Watermelon Design Project
Equal8 Pictures
Datjong
SET Film Workshop