LAMPU CEMPLUK DALAM KENANGAN : Dari Jenis Lampu Minyak, Nama Kampung hingga Festival Kampung

LAMPU CEMPLUK DALAM KENANGAN : Dari Jenis Lampu Minyak, Nama Kampung hingga Festival Kampung

FB_IMG_1537360658535l

Oleh : M. Dwi Cahyono

A. Toponimi “Cempluk”

Diantara berbagai jenis dan bentuk lampu, konon pernah amat populer apa yang disebut “lampu Cempluk”. Kata “cempluk” menunjuk pada bentuk yang cembung. Misalnya, kata jadian “nyrmpluk” untuk menyebut “lesung pipi”. Cempluk juga merupakan sebutan untuk tempat garam dapur (cempluk arah Uyah). Pada lampu cempluk, yang cembung tersebut adalah wadah (tempat) minyaknya — minyak tanah (lengo tanah) adalah bahan bakar utama untuk lampu cempluk, meski bisa juga menggunakan minyak klentik ataupun minyak jarak.

Akar kata “CEMPUK” adalah “peluk”, yang berarti: cembung”. Bush caplukan disebut demikian, karena dilengkapi dengan bungkus yang berbentuk cembung. Topi yang berbentuk cembung pun dinamai “kupluk”, yang memiliki unsur sebutan “pluk”. Sebagai istilah, kata “cempluk” terbilang tua, meski belum didapati dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan. Istilah Jawa Baru ini memiliki kemiripan dengan kata Jawa Kuna/ Tengahab “cepuk (cupu, pot).

B. Deskripsi Bentuk Lampu Cempluk

Oleh karena termasuk kategori “lampu minyak”, maka nyala api untuk penerang menggunakan sumbu yang berbentuk pipih — bedakan dengan sumbu bulan pada lampu unik (pelita). Posisi sumbu, yang bisa diaik-gurunkan dengan pengukir menentukan tingkat terang dari cahaya yang dihasilkan. Ini merupakan bagian mekanis dari lampu cempluk, yang sekaligus adalah unsur khasnya yang dibuat dari bahan logam dengan bentuk yang artistik. Rumah sumbu, begitulah sebagian menyebutnya. Selain untuk kepentingan yang berhubungan dengan sumbu, bagian ini juga menjadi tempat tancap bagi gelas silindris yang dinamai “gotong (semprong)”.

Ada bermacam ukuran dari lampu cempluk: kecil, sedang dan besar. Lampu cempluk kecil ditempatkan dengan posisi taruh di atas bidang datar, misalnya meja. Ada pula lampu cempluk yang dilengkapi semacam “tangkai”, yang karenanya bisa ditempatkan dengan menempel di bidang datar vertikal (tiang, tembok, gedek, dsb.). Jenis ini lazim dinamai “lampu teplok”. Ada pula lampu cempluk ukuran besar, yang diposisikan menggantung. Pada jenis ini, selain gantungan, acap pula dilengkapi dengan kap (atap, semacam caping) dipenghujung atas gotong, agar cahaya tak mengarah keatas namun bisa diarahkan ke bawah. Kap lampu cempluk dan gantungannya juga merupakan bagian yang acap kali dibentuk secara artistik.

Dahulu cukup mudah untuk mendapatkan atau membeli lampu cempluk. Tadak musti di pasar, namun lampu cempluk dijual pula di toko-toko kelontong, warung pracangan, pelen, dsb. Tersedia pula di tempat jualan itu komponen -komponen lampu cempluk, seperti torong (semprong) berbagai ukuran dan bentuk, sumbu lampu, rumah sumbu, kap lampu, dsb. Namun kini, tak mudah orang bisa mendapatkan lampu cempluk. Meski masih ada penjualnya, namun terbilang langka. Bahkan, lampu cempluk lama yang bagus, artistis dan relatif lengkap komponennya tak jarang menjadi barang buruan antiquarian. Dalam hal demikian, lampu cempluk mengalamatkan “naik kelas”, dari semula diimagekan sebagai “lampune wong melarat (lampunya orang miskin), atau lmpune wong ndeso (lampunya orang udik)” menjadi lampu antik yang diburu orang-orang berada. Lampu cempluk pun kedapatan hadir di cafe resto bernuansa etnik, di hotel, di rumah orang kaya, dsb.

C. Era Surut Penggunaan Lampu Cempluk

Kalaupun tak benar-benar menghilang di publik, paling tidak lampu ceplukan kian langka didapati, baik penggunanya atau penjualnya. Kehadiran lampu listrik menjadi “pukulan telak” baik tersingkirnya lampu cempluk dalam dunia perlampuan. Pukulan telak kedua adalah ketika minyak tanah dikurangi drastis produksinya, sehingga kesulitan dan kemahalan minyak tanah menjadi fakta atau penyebab kian enggannya orang memakai lampu cempluk. Faktor lainnya adalah ribet dalam menyiapkan bahan bakar, sumbu, menyalakan api hingga memasang torong. Efek asap dari pembakaran minyak juga menjadi pertimbangan orang untuk tidak menggunakan lampu minyak, termasuk juga lampu cempluk.

Ketika listrik sudah ada di masyarakat, namun belum merata kemampuan orang untuk mengaksesnya, warga masyarakat kurang mampu yang tak berlistrik (aniem) masih memakai lampu cempluk untuk penerang gelap. Kala itu, lampu cempluk dijadikan parameter bagi tingkat kekayaan. Pengguna lampu cempluk dikategorikan sebagai “warga tidak atau kurang mampu (miskin)”. Kampung Cempluk di Desa Sumberejo Kalisongo Kecamatan Dau Kabupaten Malang, yang lokasinya dipinggiran Kota Malang adalah contoh kasus untuk itu. Kendati tahun 1970-1980an listrik sudah memasuki desa ini, namun hanya sebagian warganya yang mampu menggunakan fasilitas listrik. Warga di suatu kampung di desa ini, yang tingkat ekonominya terbilang rendah, tak mampu berlistrik, sehingga penerangan di malam hari masih menggunakan lampu cempluk. Kondisi demikian terus berlansung hingga memasuki tahun 1990an untuk sebagian warga kampungnya.

Itulah sebabnya mengapa kampung itu dinamai “Kampung Cempluk”. Sebutan yang konon berkonotasi kemiskinan itu kini justru menjadi “istilah branded” dari padanya. Utamanya sejak kampung ini menggelar “Festival Kampung”, yang dinamai dengab “Festival Kampung Cempluk”. Kata “Cempluk” yang menjadi sebutannya tidak lagi merupakan istilah yang harus disikapi “memalukan, tertinggal, atau ndesani”. Bahkan, ketika ide dasar dan model festival kampungnya dijadikan contoh teladan oleh kampung-kampung lain, unsur sebutan “Cempluk” menjelma menjadi “istilah yang membanggakan”. Kampung bernama unik “Cempluk” menjadi perhatian khalayak, yang hanya dengan mendengar namanya saja, orang tergelitik untuk bertanya “mengapa dinamai dengan Kampung Cempluk?”. Sebuah pertanyaan yang justru menjadi “daya tarik awal” dari kampung itu.

Kini lampu cempluk tinggal kenangan bagi orang-orang yang pernah mengalami “era lampu cempluk”. Adapun bagi generasi muda, yang tak berkesempatan mengenyam era lampu cempluk tak memiliki nomor (kenangan) tentangnya. Lama-kelamaan lampu cempluk menguap dari memori publik. Bukan hanya fisik lampunya yang lenyap di pasaran dan di permukaan, namun memori tentangnya pun ikut lenyap. Oleh karena itu, tulisan ini sengaja dibuat sebagai “remomori (pengingat kembali) bagi yang pernah memiliki kenangan terhadapnya dan menambah memori baru bagi yang tidak pernah hidup di “era lampu cempluk”. Semoga tulisan ini mampu menggunggah memori dan memberi kefaedahan. Nuwun.

Sangkaling, 19 September 2018
Griya Ajar CITRALEKHA

Pin It