Menunju “Ruang Budaya Kampung”
LEMBAH BUDAYA KAMPUNG CEMPLUK
Oleh : M. Dwi Cahyono
A. Penggunaan Sebutan “Lembah”
Kata “lembah” acap digabungkan dengan kata lain yang bersinonim arti dengannya, “ngarai”, menjadi ” lembah (dan) ngarai”. Dalam logat lokal Tengger, sebutan untuk “ngarai” adalah “ngare”. Sebutan ini acap dilawan-artikan (opposite) dengan “gunung”. Lembah atau ngarai (ngere) merupakan bentang geografis di bawah, dan gunung berada di atas. Orang Tengger yang tinggal di tempat ketinggian pada Gunung Tengger menyebut dirinya sebagai “Wong Gunung (Nggunung)”, sedangkan warga yang tinggal di dataran rendah atau di areal lembah disebutnya dengan ” Wong Ngare”.
Arti harafiah kata “lembah” adalah bentang alam yang dikelilingi pegunungan atau perbukitan, yang luasnya bisa beberapa kilometer persegi sampai mencapai ribuan kilometer persegi. Ada pula yang meskipun tidak seluas itu, apabila areal tersebut berada lebih rendah dari permukaan tanah sekitar, bisa juga dinamai dengan “lembah”. Misalnya, areal di Kompleks Perumahan Dieng yang posisinya lebih rendah dari sekitarnya dinamai “Lembah Dieng”. Yang serupa dengan itu, di Komplek Perunahan Todar dinamai “Lembah Todar”, dan banyak contoh yang lainnya.
Terkadang, kata “lembah” dipadu dengan kata lain menjadi istilah metafor. Sebutan “lembah nista” yang didahului dengan perkataan “terjerumus ke dalam .. ” merupakan salah satu istilah metafor tentangnya. Istilah metafor lainnya, yang bermakna negatif misalnya adalahi “lembah dosa, lembah neraka, lembah dusta, lembah duka, lembah hina, lembah nestapa, dsb. “. Namun, ada pula yang bermakna positif, seperti pada “lembah nirwana, lembah cinta, lembah bahagia, dsb. “. Maknanya bisa positif ataupun negatif, tergantung kepada kata apa yang dipadu dengannya sebagai istilah metafor. Salah satu paduan yang bisa diberikan kepadanya, dengan makna yang positif, adalah “lembah budaya”.
B. Lembah Budaya di Kampung Cempluk
Sebutan “lembah” dengan demikian menunjuk pada posisi geografis suatu area, yakni area yang rendah atau lebih rendah dari area sekitarnya. Sebutan yang demikian biasa hadir di suatu tempat yang topografinya tidak rata (flat), sehingga terdapat sub-area yang lebih rendah posisinya daripada sub-area lainnya. Gambaran fisiografis demikian dijumpai di Kampung Cempluk Dusun Sumberejo Desa Kali Songo, yang relief tanahnya tidak rata. Pada kampung Cempluk ini terdapat tanah yang “melembah”, yang karenanya bisa dinamai dengan “Lembah Kampung Cempluk”.
Areal tersebut berstatus sebagai “tanah bengkok”, yang berupa tanah kosong. Lantaran terletak di lembah, yang untuk mengaksesnya musti melalui gang (lorong) Kampung, maka sejauh ini kurang dimanfaatkan buat aktifitas yang berguna, sehingga semacam “lahan tidur”. Untuk membermaknakan, ada ancangan untuk menjadikan tanah lembah di Kampung Cempluk itu sebagai ajang bagi aktifitas budaya, yang karenanya dinamai “Lembah Budaya Kampung Cempluk”. Upaya kultural ini diharapkan dapat mengubah kondisinya dari semula sebagai “lahan tidur” menjadi “lahan bangun” dalam iktiar membangun budaya Kampung, sehingga ada nilai guna daripadanya.
Sesuai dengan unsur sebutannya, yaitu “budaya” dari istilah metafor “Lembah Budaya”, maka ke dalamnya mustilah diisikan ragam aktitas budaya dari warga Kampung Cempluk atau warga dari daerah lain yang bermaksud untuk lakukan aktifitas budaya ke dalamnya. Lewat “Isian budaya” padanya itu, maka bila lembah itu diibaratkan dengan “badan wadag”, aktifitas budaya yang diisikan bagai “ruh”, sehingga Lembah Kampung Cempluk itu menjadi “areal hidup” yang menghidupi budaya kampung. Areal itu bakall menjelma menjadi “ruang publik”, dimana gladi budaya, perjumpaan budaya, ekspresi budaya, dan geliat-geliat budaya lain berlangsung di dalamnya.
C. Ruang Budaya Kampung
Ruang budaya tidak cuma berupa Taman Budaya, gedung kesenian, art center, dsb. Melainkan bisa dimana saja. Tidak terkecuali pada areal pinggir di kampung. Tidak masalah meskipun ajang aktifitas budaya itu berada dalam kampung. Justru dengan keberadaannya di kampung, maka aktitas budaya yang diolahjreasikan, ditumbuhkembangkan, bisa menjadi kontekstual dengan “eko-sosio-kultura” lokal, yakni kampung bersangkutan. Tidak perlu jauh-jauh untuk beraktifitas budaya, lantaran di kampungnya telah terdapat “ruang budaya’.
Dalam “ruang budaya kampung” itu, potensi budaya di kampung dapat dieksplorasikan, bisa ditumbuh- kembangkan, tradisinya dilestarikan, dan yang telah layak saji itu dapat suguhkan kepada khalayak lain sebagai atraksi budaya yang untik, menarik, serta mempesona. Ruang budaya kampung itu dengan sendirinya menjadi destinasi budaya yang “tidak karbitan (instant) “, karena telah melalui proses kreatif secara bertahap dan berkelanjutan. Ruang budaya kampung yang demikian itu, niscaya dapat dijadikan “model inkulturasi budaya” pada tingkat kampung. Semogalah menbuahkan kenyataan di “Lembah Budaya Kampung Cempluk” ke depan. Papa kabuktihi. Nuwun.
Sangkaling, 8 December 2019
Griya Ajar CITRALEKHA