Tanggal : 13 Januari 2020
Tempat : Cafe Omah Ngopi
Waktu : 20.00-21.00 WIB
Peserta hadir : Kurang lebih 24 orang
Terdiri dari : 20 anggota dari Kampung Salak, 1 orang dari Kampung Cempluk, dan 3 orang dari perwakilan volunteer Universitas Brawijaya
Ringkasan Diskusi :
- Diskusi dibuka oleh Mas Redy sendiri dengan perbincangan non-formal yang hangat bersama dengan kelompok POKDARWIS Kampung Salak
- Pemantikan diskusi dengan pendapat masing-masing terkait keberadaan POKDARWIS bagi keberlangsungan program kampung wisata
- Pendiskusian dari ke-gundahan keberadaan POKDARWIS terkait program kampung wisata lokal
- Konsep pengembangan wisata di ruang sempit berbasis kreativitas lebih efektif dibandingkan dengan basis lahan
- Penutupan yang juga dilakukan dengan hangat dan non formal.
Hasil Rapat :
Secara struktur, POKDARWIS ini berada di bawah kendali dari aparat pemerintah, khususnya pemerintah yang menangani perihal pengelolaan pariwisata, yakni Kementerian Pariwisata. Dari pihak Kampung Salak sendiri, menyadari bahwa mereka masih merasa bingung dan rancu dengan makna dari POKDARWIS itu sendiri, tujuan dibentuknya, serta arah kerjanya. Karena berdasarkan ungkapan dari salah seorang perwakilan Kampung Salak, mereka mengatakan bahwasannya mereka telah berusaha mengembangkan dan mengelola kampung mereka sesuai dengan bagaimana mestinya instruksi dari atas (pemerintah), namun seringkali bersinggungan dengan cita-cita, kreativitas, dan keinginan mereka pribadi sebagai satu kesatuan dari warga lokal Kampung Salak yang menjalankannya. Sebab, sejauh yang mereka rasakan dalam upaya pengelolaan kampung wisata tersebut dengan tangan pemerintah, justru dari pihak pemerintah lebih memfokuskan pada strategi promosinya saja, sementara untuk pengembangan dari kampungnya sendiri cenderung masih abai dan dianggap nomor sekian. Padahal semestinya, sebagaimana yang diutarakan oleh Mas Redy, bahwasannya dalam mengelola suatu hal menjadi objek pariwisata harus dilihat serta diberdayakan secara holistik. Tidak bisa hanya satu dua hal saja yang ditonjolkan, sementara aspek lainnya masing timpang dan hanya sekedar ditutup dengan “promosi” begitu saja. Adapun promosi dan upaya pengelolaan yang selama ini berusaha ditawarkan dari pihak Pemerintah sendiri (berdasarkan diskusi), hanya mengedepankan standar luar yang sebenarnya ini tidak cukup masuk dan sesuai dengan budaya dan standar lokalnya, terkhusus standar masyarakat lokal. Seperti misalkan ketika mereka berupaya mengerahkan seluruh instrumen masyarakat dalam sektor pariwisata keseluruhan, maka kemudian siapa yang akan tetap mengelola lahan agrarisnya? Yang mana justru lahan agraris ini jika tetap dikelola dengan baik, akan semakin menambah nilai jual dari objek wisara bersangkutan, terlebih jika basisnya memang “menjual lanskap alam”-nya.
Ada baiknya dalam upaya pengembangan suatu wilayah menjadi kawasan objek wisata, mereka tidak semestinya menghilangkan apa yang menjadi kekayaan lokal dan keunikan dari wilayah tersebut. Sebab hadirnya para wisatawan luar kota bahkan luar negeri, justru ingin melihat dan menikmati apa yang tidak mereka bisa miliki di wilayahnya. Dan apabila beberapa hal aspek kecil semacam pengaturan toilet jongkok menjadi toilet duduk, kemudian penghilangan pengelolaan lahan agraris, maka kemudian standar lokal yang ada itu sudah tergantikan dengan standar luar. Secara tidak sadar, keunikan ini kemudian akan menghilang dengan sendirinya dan bisa dikatakan “apa bedanya dengan objek wisata lainnya?”, demikian yang dilontarkan oleh Mas Redy.
Kemudian permasalahan yang muncul adalah hospitality, bagaimana kemudian mereka selain menjual bentang alam, mereka juga bisa menjual “keramahan dan pelayanan” yang sempurna sebagai bentuk menjamu wisatawan dengan maksimal, sehingga wisatawan pun nantinya bukan hanya disuguhkan keindahan alam atau kawasannya saja melainkan juga disuguhkan oleh keramahan dari setiap elemen masyarakat yang terlibat di sektor ini. Lagi-lagi, perihal sekecil ini pun sering menemukan titik persinggungan dengan pihak pemerintah, karena masih berupaya keras menggunakan standarisasi luar dengan dalih modern dan nyaman. Padahal, menggunakan standar lokal dengan pengelolaan yang tepat pun akan jauh lebih menambah daya tarik dan keunikan wisata tersebut, tidak harus perihal trend maupun modern saja untuk menjadi menarik.
Sementara Kampung Cempluk sendiri, berdasarkan penuturan oleh Mas Redy selaku pemimpin komunitas, bahwasannya Cempluk juga belum memiliki POKDARWIS-nya. Semua masih dilakukan secara swadaya masyarakat setempat, dimana memang tujuan awalnya beliau masih ingin berupaya untuk membangkitkan semangat kepedulian terlebih dahulu dari masyarakat setempat terhadap potensi wilayahnya sendiri, atau dalam hal ini yaitu masih dalam upaya untuk membangkitkan Sense of Belonging dari seluruh elemen masyarakat terhadap kampungnya. Sehingga ketika semua itu sudah dapat terbangun dengan baik, tentu tidak akan menutup kemungkinan bahwasannya berbagai macam aspek kecil lain termasuk hospitality sederhana lain juga akan berjalan mengalir begitu saja tanpa perlu diperintah lagi. Jadi mereka sudah disediakan tempat, panggung, arena, dan juga bekal mereka sendiri dalam menjalankan setiap agenda program ke depannya.
Mengelola objek pariwisata sebenarnya bukan perihal menjual bentang alamnya saja, ada banyak hal lain juga bisa ditawarkan selain alam. Sebab, untuk lanskap seperti Kampung Cempluk yang secara geografis juga berada di wilayah terhimpit dan sempit, basis menjual alam atau Destination based on Places sama sekali tidak masuk di ruang ini. Justru akhirnya ketika sense of belonging tadi sudah terbentuk, dengan sendirinya kreativitas muncul dan berkembang, dan inilah yang kemudian bisa dijual dalam rangkan mengembangkan potensi wisata di wilayah Kampung Cempluk, yakni Destination based on Creatives. Hal unik dan kreativitasnya yang mereka jual untuk menarik wisatawan hadir, sebagai upaya memutar otak ketika melihat lahan atau ruang tinggal mereka tidak cukup mumpuni untuk dijual sebagai objek wisata. Dengan pemberdayaan kreativitas ini bisa dimaksimalkan, lambat laun aktivitas ini akan terjalin dengan intim dan juga berjalan dengan organik seterusnya.
Sebagai penutup diskusi, Mas Redy lalu menegaskan, sebetulnya hal yang terpenting dalam membangun suatu wisata adalah terlebih dahulu bangun pondasinya. Pondasi yang tentu berasal dari keintiman dan pemahaman masyarakatnya terlebih dahulu. Kemudian, pengelolaan objek wisata di ruang sempit akan lebih efektif dengan menjual kreativitasnya, dibandingkan menjual views atas bentang alamnya.
Catatan Khusus :
Karena perihal kelompok dari Kampung Salak membawa rombongan ibu-ibu, sehingga diskusi diakhiri dengan cepat, untuk menghemat kenyamanan dan waktu mereka dalam perjalanan kembali ke Tuban.
Malang, 13 Januari 2020
Notulen 1 Notulen 2
Atiqoh Ishlah Syauqiyya (mahasiswa UB ) Muhammad Fadhil Ghifari (Mahasiswa UB )