NOTULENSI RINGKASAN SALING SILANG IDE NGAJI TATA RUANG DAN AGRARIA

NOTULENSI RINGKASAN SALING SILANG IDE NGAJI TATA RUANG DAN AGRARIA

“OMAH NGOPI CEMPLUK”  JALAN DIENG ATAS, SUMBEREJO,KALISONGO KECAMATAN DAU KABUPATEN MALANG

JUM’AT 09 FEBRUARI 2018 Pukul 19.00-22.30 WIB

 sinau ing kampung 3

Pembicara Pertama: Dr.Imam Koeswahyono,S.H.MHum (PPHA FH-UB Malang)

kampungcempluk.com.Ruang (spatial /Inggris atau Ruimte Belanda) atau spasial sebagai suatu konsep dan praksis memiliki makna yang luas dan berimplikasi pada bidang kajian keilmuan, metode kajian serta tujuan & hasil yang diinginkan. Ruangpun memiliki dimensi yang amat luas dan dengan demikian masing-masing penstudi dari disiplin apapun memiliki tafsir/ interpretasi yang beragam dengan berbagai argumentasi yang mendasarinya. Dalam dimensi sosial dan budaya ruang sebagai wahana atau wadah memiliki makna yang dalam dan spesifik bertautan dengan budaya tiap masyarakat atau komunitas. Secara kultural, maka ruang sebagai wahana tempat insan manusia berperilaku (behavior) berinteraksi baik dengan sesama maupun dengan sumber daya alam termasuk di dalamnya tanah.

Tanah khususnya tanah pertanian (agricultural) yang dipandang masyarakat Indonesia sebagai ruang kehidupan sekaligus hak (rights/ rechts) tempat gantungan hidup baik diri maupun keluarganya. Tanah dipandang sebagai harga diri dan jati diri petani sehingga dikukuhi dengan resiko apapun. Ruang mempersoalkan fungsi atau peruntukan persil atau kawasan untuk berbagai fungsi seperti perumahan, pertanian, peribadatan, perdagangan tradisional/ moderen atau fasilitas umum dan fasilitas sosial, ruang terbuka hijau. Ruang yang dikenal sejak zaman sebelum Masehi dilanjutkan era imperium kekaisaran Romawi, dilanjut era kolonialisme (kuno) dimaknai sebagai wadah kontestasi/ pertarungan kepentingan yang beragam khususnya pola penguasaan sumber daya alam komoditi perdagangan baik skala kecil/lokal, regional, nasional maupun global.

Tak pelak sebagai akibatnya menimbulkan perebutan melalui imperialisme dan kolonialisme yang penjajahan baik pada bangsa Afrika, Asia, Amerika dan belahan dunia lainnya. Kontestasi dengan berbagai manifestasinya intinya memperebutkan ruang bagi hidup dan kehidupan manusia yang senantiasa bertambah jumlah/ populasinya sementara paradoks dengan relatif tetapnya jumlah ketersediaan sumber daya alam yang pada umumnya bersifat non-renewable (tak terbarukan) yang apada awalnya merupakan barang yang menurut E.Ostrom sebagai common pool/ open access pada akhirnya harus bersaing untuk dapat mengaksesnya. Ketamakan yang semakin membuncah tidak saja orang perorangan maupun korporasi yang secara tamak hendak memiliki kalau dapat seluruhnya melahirkan kapitalisme yang menurut Braudel senantiasa beradaptasi menyesuaikan tantangan dan hambatan dengan beragam cara agar secara langgeng mencengkeram sumber daya alam dan ruang.

Negara sebagai sebuah organisasi kekuasaan dengan beragam sistem pemerintahan dan bentuknya mendapatkan “amanah” segenap rakyat atau warga bangsa melalui piranti kebijakan dan hukum (law/recht) bertugas mengatur melalui pengkaidahan bagaimana seharusnya warga bangsa berperilaku selaras dengan tiga pilar hukum: kepastian (hukum), kemanfaatan (hukum) serta keadilan (justice). Dengan kata lain negara wajib untuk membuat tata kelola tanah, ruang serta sumber daya alam secara berkelanjutan, transparan, partisipatif, akuntabel, berkeadilan, selaras dengan filosofi dasar bangsa yakni “Pancasila.”

6masyarakatadatkartun

sumber gambar dari : http://tataruangpertanahan.com/kliping-1502-rekonsiliasi-negaramasyarakat-adat.html

Apa yang terjadi secara faktawi/ empirikal ditinjau dari sisi kesejarahan tidak saja era kolonialisme klasik, emperium, maupun neo kapitalisme, baik nasional/ dunia kontestasi perebutan atas ruang dan sumberdaya alam berlangsung seolah tiada matinya dan parahnya semakin kompleks, multi faset, berjejaring dan berkelindan dibumbui dengan aspek politis, bahkan kekuasaan yang disokong pengusaha pengejar rente dibantu oleh institusi militer dalam beragam bentuk ditingkahi peran free raider (penumpang gelap) sebagai untouchable invisible hand. Sudah barang tentu kontestasi yang semakin menggurita direspons oleh negara baca pemerintah melalui instrumen kebijakan dan hukum yang pada era Orde Baru dalam banyak telaah tidak berpihak pada kelompok marjinal/terpinggirkan meski telah diamanatkan bahwa negara bertugas meniadakan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan warga bangsa, meningkatkan pendidikan generasi mendatang tidak sebatas kecerdasan tetapi terutama budi nurani serta religiusitas ummat.

Ditelisik dari sebelum berdirinya negara dan wujud bangsa Indonesia rezim Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi menunjukkan wujud bahwa negara menghamba pada kapitalime, sehingga akses atas sumber daya alam termasuk ruang semangkin sulit rawannya konflik berujung sengketa. Walau sejatinya ditinjau dari “budaya aseli” bangsa penghuni Nusantara (Nuswantoro) yang kaya sumber daya terdapat kearifan lokal (indigenous wisdom and Adat Law) beragam tersebar di seantero yurisdiksi negara bangsa ini. Dalam konteks inilah harus digala secara terus-menerus bagaimana kearifan lokal yang semakin ditinggalkan dihidupkan kembali ruh dan esensialnya untuk dipadukan dengan nilai sila-sila Pancasila, agar mampu membangun karakter bangsa, meningkatkan etos kerja, mampu bangkit untuk berdikari menggali segenap potensi idea kreatifitas utamanya generasi now untuk: pertama mengubah mindset dari fixed mentalitas tak suka perubahan dan kemajuan ke arah growth mindset suka perubahan kemapanan. Kedua, pembaruan hukum dan kebijakan secara berkesinambungan ke arah hukum yang benar-benar mampu mendinamisasi dan menggerakkan segenap warga bangsa untuk berlomba membentuk alam fikir enterpreneurship/ kewirausahaan berbasis lokal khususnya desa dan kelurahan dengan menggali ide atau gagasan  kreatif inovatif serta mengembangkan pada tiap satuan geografi kecil seperti dusun atau rukun tetangga.

Mengkaidahi semua itu mudah diucapkan, pelik ditindak/ ditangani namun harus terus dicoba dan dihadapi. Perbincangan soal hukum berakhir dengan dipenuhinya tiga syarat pelaksanaan hukum menurut Lawrence M Friedmann (1975) bagaimana struktur kelembagaan (legal structure) mampu berubah secara adaptif seiring dengan kebutuhan atasadaptasi globalisasi, bagaimana isi pengaturan (legal substance) lengkap/ tidak, konflik norma/ tidak, serta budaya hukum (legal culture) yang terakhir sekali lagi harus ada gerakan secara revolusioner mengubahan atas pola fikir kaitannya denga gaya hidup warga bangsanya. Ketiga penetrasi budaya dan mengguritanya neo kapitalisme yang cepat melalui teknologi dan ketergantungan pinjaman hutang harus mampu diretas dan ditundukkan bila generasi penerus mampu terus inovatif, kreatif, jujur serta bekepribadian tangguh serta visioner.

Berulang kali pendiri bangsa (the founding fathers) Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo,Tan Malaka, Mohammad Yamin, Djuanda dan sebagainya mengingatkan betapa bahayanya imperialisme, kapitalisme yang bertransformasi menjadi Neo-Kapitalisme dengan beragam cara sebagai ancaman bahkan musuh nyata untuk diantisipasi, bukti paradoks kelimpahruahan kekayaan secara cepat dan pasti bila warga bangsa akibat negara salah kelola, hendaknya menyadarkan agar kekayaan sumber daya alam termasuk budayanya adalah berkah yang harus dikelola secara bijak BUKAN kutukan atau bencana. Semoga/Insha Alloh.(IKWYN)

Pembicara Kedua: Dr.Muhammad Ali Safa’at,S.H.MH (FH-UB)

Ruang dimaknai sebagai produk budaya kearifan lokal yang awalnya dinamisme dan animisme memiliki akar yang kuat dan tangguh menjaga relasi dan tata kelola sumber daya alam oleh masyarakat termasuk desa. Hukum sebagai konsep, teori maupun praksis sebatas alat untuk mengkaidahi dan memelihara perilaku masyarakat dan negara.  Pemisahan organ kekuasaan tidak sebatas teoritikal semata melainkan bagaimana relasi check and balances (saling kontrol dan keseimbangan) antar organ negara sampai pada titik terbawah khususnya desa mampu dan terus dipelihara dan dioptimalisasikan dalam ruang gerak yang demokratis.

tata ruang

sumber gambar dari: https://www.bilaterals.org/?law-in-the-natural-resource

Pengkaidahan aset dan sumber daya alam akan dapat dilakukan bila negara baca: pemerintah termasuk desa dan dusun bekerja sesuai dengan aspirasi masyarakat dan memelihara amanah pemilik sejati dari aset tersebut. Belajar sejarah tentang tata kelola ruang memberikan pembelajaran tradisi, filosofi serta pola keteraturan yang wajib difahami sebagai pelajaran berharga agar sisi negatif dan kekurangan diperbaiki, kerusakan dicegah supaya suatu kaum tidak terjerumus ke lubang yang sama. Pada era milenial dengan kemajuan ilmu dan teknologi,di mana semakin tipisnya batas desa-kota, maka yang penting bagaimana warga bukan sebagai followers dan penikmat, melainkan bagaimana menjadi inovator yang tidak merugikan mentalitas generasi muda, justru menjadi pemimpin masa depan yang visioner dan tangguh.(MAS)

Pembicara Ketiga: Dr.Aan Eko Widiarto,S.H.MH (FH-UB)

Ruang seperti halnya sumber daya agraria merupakan kekayaan suatu bangsa sebagai keberkahan Alloh yang bila hendak dikaidahi harus memperhatikan beberapa prinsip dasar:

  1. bagaimana tata urutan peraturan perundangan Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 diiikuti
  2. bagaimana hal yang hendak dikaidahi dan ruang lingkupnya peraturan dusun
  3. bagaimana pemahaman pemangku kepentingan (stake-holders) pada level dusun memiliki kesefahaman dan kesepakatan mengapa ruang dan sumber daya alam penting untuk diatur;
  4. bila dilakukan perumusan dalam kaidah maka bentuk kaidah, maka harus dilakukan dalam rumusan kaidah selain mampu difahami tetapi juga tidak saling bertentangan (conflict of norms) atau kekaburan norma (vague of norms);
  5. Tata tertib ditinjau dari tata urutan peraturan perundangan Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 tidak ada, sehingga tidak memiliki daya ikat bagi semua pemangku kepentingan;
  6. Pengaturan tata ruang dalam wujud Peraturan Dusun menghendaki prasyarat keselarasan dengan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa;
  7. Merajut kebersamaan dalam tradisi budaya lokal memerlukan adanya upaya kreatif dan inovatif untuk menumbuhkembangkan aspirasi warga masyarakat untuk mengelola sumber daya alam dan ruang secara berkelanjutan.
  8. Pengembangan budaya lokal dalam beragam wujudnya tidak sekadar menjadikan sarana destinasi wisata belaka, melainkan bagaimana merawat dan memasarkan budaya lokal alternatif pilihan.(AEW)

 

 

 

 

Pin It